Rabu, 12 Januari 2011

Sejarah Keraton Palembang: Sekilas Tentang Palembang

Nama dan Arti Palembang
Kota Palembang adalah sebuah kota tua di Nusantara, mempunyai sejarah panjang dalam khasanah budaya Nusantara. Sebuah nama yang paling banyak memberikan catatan, bahkan ilham dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan di Nusantara. Meskipun nama ataupun toponim Palembang itu sendiri secara sederhana hanya menunjukkan suatu tempat (Pa yang berarti suatu kata awal menunjukkan tempat). Kosakata lembang berasal dari bahasa Melayu yang artinya: tanah yang rendah, tanah yang tertekan, akar yang membengkak dan lunak karena lama terendam dalam air, menetes atau kumparan air. Selanjutnya, dalam bahasa Melayu lembang berarti: tanah yang berlekuk, tanah yang menjadi dalam karena dilalui air, tanah yang rendah. Selain itu, ada pengertian lembang yang cukup menarik, yaitu: tidak tersusun rapi; berserak-serak.

Pengertian Pa-lembang adalah tempat yang berkumparan air, atau tanah yang berair dicatat pertama kali oleh pelapor Belanda tahun 1824 di dalam buku Proeve Eener Beschrivjing van het Gebied van Palembang. Diterbitkan oleh J. Oomkens, Groningen tahun 1843, dan penulis atau pelapor tersebut adalah W. L. de Sturler (pensiunan mayor tentara Belanda). Dengan demikian, pengertian orang-orang Palembang pada waktu itu tentang nama kotanya adalah ‘tempat yang tergenang air’. Gambaran topografi Palembang pada tahun 1990 tergambar jelas dalam angka statistik berikut ini (Kantor Statistik Kota Palembang):

1. Tak tergenang air seluas 10.009, 4 hektare (47,76 %)
2. Tergenang sehari setelah hujan 444,4 hektare (2,12 %)
3. Tergenang pengaruh pasang surut 308,1 (1,47 %)
4. Tergenang musiman 2.366,1 hektare (11,29 %)
5. Tergenang terus-menerus 7.829,8 hektare (37,36)

Letak dan Bentuk Kota
Kota Palembang terletak sekitar 75 mil dari muara Sungai Musi, di mana muara tersebut terletak di Selat Bangka. Kota itu sendiri terletak di pinggir Sungai Musi di antara muara Sungai Ogan dan Sungai Komering (dua sungai besar yang bermuara diSungai Musi). Kota ini diyakini telah berumur 1320 tahun berdasarkan tafsir dan analisis Prasasti Kedukan Bukit.

Dalam penelitian sejarah dan arkeologi yang panjang dan berlarut (sejak tahun 1918), maka setelah berpolemik dalam tulisan-tulisan dan seminar-seminar yang hangat, para pakar dan sarjana berkesimpulan adanya kerajaan besar bernama Sriwijaya yang pada abad ke-7 berpusat di Palembang. Sejak tahun 1982—1990 penggalian arkeologi secara intensif dilakukan di Kota Palembang. Hasilnya merupakan analisis temuan arkeologi, antara lain berupa prasasti, arca, keramik, fragmen perahu, dan ekskavasi pada permukiman kuno.

Bentuk Kota Palembang dari abad ke-8—9 berdasarkan laporan dan catatan kronik Cina serta tulisan pelaut Arab dan Parsi dapat diyakini bentuknya adalah memanjang sepanjang Sungai Musi, mulai dari sekitar Pabrik Pupuk Sriwijaya sampai ke Karang Anyar, di mana di bagian Seberang Ulu tidak ada pemukiman. Bentuk kota seperti ini menurut morfologi kota disebut ribbon shaped city (kota berbentuk pita). Luas kota ini menurut catatan saudagar Arab, Sulayman, pada tahun 815 yang mencatat beberapa “gosip” (tuturan) para pedagang bahwa “pantas dapat dipercaya bahwa luas kota ini didengar dari kokok ayam di waktu Subuh dan terus-menerus berkokok bersahutan dengan ayam jantan lainnya yang berjarak lebih dari 100 prasang (satu prasang kurang lebih 6,25 km), karena kampungnya berkesinambungan satu sama lain tanpa terputus”.

Catatan saudagar Arab tersebut di atas tidak jauh dari anekdot yang dicatat pelapor Belanda L.C. Westenenk. Ia mencatat bahwa besarnya batas kota ini digambarkan bagaimana seekor kucing dapat berjalan tanpa memijak tanah dari Palembang Lama ke Batanghari Leko, karena cukup dengan hanya melompat dari satu atap ke atap lain dari rumah-rumah penduduk.

Dapat dibayangkan dalam kenyataan Palembang pada masa Sriwijaya tersebut dengan membandingkan letak dari Prasasti Telaga Batu yang berada di Kampung 2 Ilir dan Prasasti Kedukan Bukit di 35 Ilir, serta Prasasti Talang Tuo yang berada di Kecamatan Talang Kelapa. Yang pasti, bentuk Kota Palembang berorientasi sepanjang Sungai Musi di belahan Seberang Ilir. Dapat pula dikatakan bahwa Palembang pada waktu itu berada di perairan antara muara Sungai Komering dan Sungai Ogan.

Bagaimana terserak-seraknya Kota Palembang pada waktu, seperti arti kata lembang (terserak-serak; tidak tersusun rapi), dapat dibaca dari catatan Cina abad ke-12 dan 13. “Penduduknya tinggal di luar kota, atau mereka tinggal di rakit di atas air, suatu tempat tinggal yang lantainya terdiri dari bambu. Mereka dibebaskan dari segala bentuk pajak”.

Selanjutnya, catatan Cina lainnya, yaitu Yeng-yai sheng-lan-chiao-chu. Catatan ini menggambarkan keadaan di masa itu sebagai berikut. “Tempat ini dikelilingi oleh air dan tanh kering sedikit sekali. Para pemimpin semuanya tinggal di rumah-rumah yang dibuat di atas tanah yang kering di pinggiran sungai. Rumah-rumah rakyat biasa terpisah dari rumah-rumah pemimpin. Mereka semua tinggal di atas rumah-rumah rakit yang diikatkan pada tiang di tepian dengan tali. Apabila air pasang, rakit akan terangkat dan tak akan tenggelam. Seandainya penduduk akan pindah ke tempat lain, mereka memindahkan tiang dan menggerakkan rumahnya sendiri tanpa mengalami banyak kesulitan. Di dekat muara sungai, pasang dan surut terjadi 2 kali dalam sehari semalam”.

Gambaran bagaimana kehidupan penduduk Palembang dengan air atau sungai, digambarkan dengan jelas oleh sarjana biologi Inggris yang terkenal di abad ke-19 sewaktu berkunjung ke Palembang, yaitu Alfred Wallace Russel: “Penduduknya adalah Melayu tulen, yang tak akan pernah membangun sebuah rumah di atas tanah kering selagi mereka masih melihat dapat membuat rumah di atas air, dan tak akan pergi ke mana-mana dengan berjalan kaki, selagi masih bisa dicapai dengan perahu”.

Gambaran Alfred Wallace Russel di atas merupakan suatu kenyataan buruk bagi Gemeente Palembang, yaitu suatu kendala saat Gemeente ingin membangun Kota Palembang secara modern. Dalam laporan setelah 25 tahun Palembang menjadi Gemeente, yaitu suatu pemerintah kota yang otonom pada tahun 1906 adalah sebagai berikut. “Kesulitan untuk mendapatkan lahan pembangunan yang cocok dalam kota ini disebabkan di satu pihak masih banyak terdapat rawa-rawa di antara tanah yang lebih tinggi, di lain pihak di tanah yang tinggi yang baik itu dipenuhi terutama oleh tanah perkuburan. Generasi-generasi terdahulu memilih tempat tinggal di tanah-tanah rendah dekat air, dan menguburkan jenazah-jenazah mereka di tanah tinggi yang kering (cetak miring oleh penulis).

Selanjutnya, laporan pada tahun 1930 menggambarkan bahwa topografi Palembang sebagai suatu waterfront, kota yang menghadap ke air dengan anak-anak sungai yang besar dan kecil memotong kedua tepiannya, sehingga membentuk kota laguna. Banyaknya anak-anak sungai memberikan kota ini julukan yang lebih indah, sebagai Indisch Venetie. Gambaran kota lebih lagi mempunyai cirinya yang jelas dengan banyaknya rumah-rumah dibangun di atas tiang-tiang kayu oleh karena permukaan tanah yang luas dari kota ini adalah rawa. Rumah-rumah ini satu dengan lainnya dihubungkan dengan jembatan layang yang sederhana dari kayu di atas tiang-tiang.

Adanya pasang surut dan lebatnya hujan, menyebabkan permukaan air berbeda sangat besar. Perbedaan tingkat pada air pasang surut di musim hujan dengan musim kemarau kira-kira 3,8 meter. Pada saat air pasang banyak tanah tenggelam di bawah air, di mana tambangan (perahu) berkeliling dengan lincah di sekitar kota, menimbulkan suatu pemandangan bagaikan lukisan. Sebaliknya, pada saat air surut, tanah dan solok (anak sungai kecil) berubah menjadi lumpur, yang memberikan pemandangan yang tidak indah dan rakyat menamakannya “kota lumpur”.

Topografi Palembang
Telah digambarkan bahwa sejak zaman Sriwijaya sampai ke zaman kolonial, yaitu pada saat Palembang menjadi Kotapraja (gemeente), keadaan topografinya tidak mengalami banyak perubahan. Bentuk kota yang memanjang sepanjang Sungai Musi, mulai dari persimpangan muara Sungai Komering sampai dengan persimpangan muara Sungai Ogan.

Para arkeolog melihat Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya, tidak melihat peninggalan yang menggambarkan suatu kemegahan. Barangkali Palembang sebagai pusat Sriwijaya tidak sama dengan pusat-pusat kerajaan lain, yang banyak ditemukan di wilayah Asia Tenggara, seperti di Thailand, Kamboja, dan Birma. Palembang diduga bersifat “mendesa” (rural). Bahan untuk membuat bangunan-bangunannya hanyalah bahan-bahan dari kayu atau bambu yang mudah didapat di sekitarnya. Sayangnya, bahan-bahan ini merupakan bahan bangunan yang mudah rusak termakan zaman, sehingga sisa rumah tinggal sudah tidak dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa permukiman kayu hanya ditemukan di daerah rawa atau sungai yang selalu terendam air. Bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu hanya diperuntukkan bagi bangunan sakral (bangunan keagamaan)

Sumber : 

Rabu, 06 Oktober 2010

Pempek

SEJARAH
Menurut sejarahnya, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan MAhmud Badarudin II berkuasa di kesultanan Palembang Darussalam. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan "apek", yaitu sebutan untuk lelaki tua keturunan Cina.
Berdasarkan cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Seungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi yang belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Ia kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan "pek … apek", maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek.[1]
Namun cerita rakyat ini patut ditelaah lebih lanjut karena singkong baru diperkenalkan bangsa Portugis ke Indonesia pada abad 16. Selain itu velocipede (sepeda) baru dikenal di Perancis dan Jerman pada abad 18. Selain itu Sultan Mahmud Badaruddin baru lahir tahun 1767. Juga singkong sebagai bahan baku sagu baru dikenal pada jaman penjajahan Portugis dan baru dibudidayakan secara komersial tahun 1810. Walaupun begitu sangat mungkin pempek merupakan adaptasi dari makanan Cina seperti baso ikan, kekian ataupun ngohyang.
Pada awalnya pempek dibuat dari Ikan Belida. Namun, dengan semakin langka dan mahalnya harga ikan belida, ikan tersebut diganti dengan Ikan Gabus yang harganya lebih murah, tetapi dengan rasa yang tetap gurih.
Pada perkembangan selanjutnya, digunakan juga jenis ikan sungai lainnya, misalnya ikan putak, toman, dan bujuk. Dipakai juga jenis ikan laut seperti Tenggiri, Kakap Merah, parang-parang, ekor kuning, dan ikan sebelah. Juga sudah ada yang menggunakan ikan dencis, ikan lele serta ikan tuna putih.

Sungai Musi

Sungai Musi adalah sebuah sungai yang terletak di Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia dengan panjang sungai sekitar 750 km dan merupakan sungai yang terpanjang di Pulau Sumatera. Sejak masa keemasan Kerajaan Sriwijaya, sungai Musi ini terkenal sebagai sarana utama transportasi kerajaan dan masyarakat. Ini tetap berlanjut pada masa pemerintahan kesultanan Palembang Darussalam.
Hingga kini pun sungai Musi masih menjadi alternatif jalur transportasi ke daerah tertentu dan untuk kepentingan tertentu. Beberapa industri yang ada di sepanjang aliran sungai Musi juga memanfaatkan keberadaan sungai Musi ini.
Sumber mata air utama sungai Musi berasal dari daerah Kepahiang, Bengkulu, dan bermuara di 9 (sembilan) anak sungai besar, yaitu Sungai Komering, Rawas, Batanghari, Leko, Lakitan, Kelingi, Lematang, Semangus, dan Ogan. Batanghari Sembilan sendiri merupakan ungkapan untuk sembilan sungai besar ini.
Sungai Musi membelah Kota Palembang menjadi dua bagian kawasan, yaitu kawasan Seberang Ilir di bagian utara dan Seberang Ulu di bagian selatan. Sungai Musi, bersama dengan sungai lainnya, membentuk sebuah delta di dekat Kota Sungsang. Keberadaan Sungai Musi membelah Kota Palembang masih memberi citra tersendiri bagi warganya.

 



Kisah kota sungai atau kota de stad der twintig eilanden (kota 20 pulau) masih bisa dijual sebagai cerita wisata. Keberadaan sekitar 108 sungai yang pernah membelah kota Palembang dengan lembahnya yang berawa-rawa, kini tidak akan kita temukan lagi.
Begitu banyak sungai di kota Palembang dengan kehidupannya, maka orang-orang Eropa menyamakan Palembang dengan Venesia dari Timur, di samping itu disebut juga sebagai de stad der twintig eilanden (kota dua puluh pulau). Pulau-pulau ini terbentuk karena adanya anak-anak sungai yang memotong lembah yang ada, di samping memang di Sungai Musi ada pulau-pulau yaitu antara lain Pulau Kembaro (Kemaro) dan Pulau Kerto.

Berikut adalah gambar sungai musi dengan latar belakang PT.Pertamina

  

Alur pelayaran sungai Musi memiliki banyak tikungan. Di beberapa titik bahkan terjadi penyempitan alur. Kedalaman alur sangat tergantung dengan pasang surut air laut. Perbedaan pasang surut antara muara sungai Musi dengan Pelabuhan Boom Baru berkisar enam jam. Sehingga kapal-kapal yang mau masuk ke pelabuhan harus bisa menyesuaikan jadwal dengan kondisi ini.
Pasang surut Sungai Musi antara 30 cm sampai 275 cm bersifat harian tunggal. Artinya, kalau sedang surut, maka kapal harus menunggu satu hari baru dapat berjalan. Dalam kondisi begitu, sungai ini hanya bisa dilayari kapal berukuran sedang (draft sampai tujuh meter) selama enam jam per hari.
Sungai Musi memberikan pada penduduknya satu watak yang khas, bagaikan watak sungai tersebut, yaitu tenang di permukaan tetapi menghanyutkan di bawahnya. Inilah watak semon (semu) dari penduduk kota ini. Di samping itu arus pasang surut yang sangat berbeda di permukaan sungai, merupakan watak kontroversial dari penduduk yang lemah lembut yaitu dia dapat bereaksi di luar dugaan. Inilah gambaran umum (stereotype) masyarakat Palembang yang dilukiskan oleh pelapor dan penulis Belanda di zaman bari.

Jembatan Ampera

SEJARAH


Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi. Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergo-long nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu. Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan jembatan ini dimulai pada tanggal 16 September 1960, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Menunggu Wajah Baru Jembatan Ampera
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.

KEISTIMEWAAN

Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya.
Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.